22 September 2015

Legenda Ular Kepala Tujuh, Cerita Bengkulu

Alkisah, dahulu kala berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Sang Raja mempunyai delapan orang putra. Suatu ketika, Raja Bikau Bermano hendak melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Pihak istana kerajaan Kutei Rukam kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk melangsungkan pernikahan semeriah mungkin.
Legenda Ular Kepala Tujuh, Cerita Bengkulu

Gajah Meram Beserta Calon Istrinya Hilang

Tibalah hari pernikahan Pangeran Gajah Meram dengan Putri Jinggai. 

Awalnya upacara pernikahan berjalan lancar. 

Namun, tiba-tiba saja terjadi sebuah keanehan. 

Pangeran Gajah Meram dan Putri Jinggai tiba-tiba hilang entah kemana. 

Saat itu keduanya tengah melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket di tepi Danau Tes. 

Tidak seorang pun tahu ke mana hilangnya pasangan itu.

Sontak saja Raja Bikau Bermano beserta permaisuri menjadi cemas. Khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa hulubalang untuk mencari mereka. 

Para hulubalang segera mencari di sekitar danau Tepi, namun tidak juga menemukan mereka berdua. 

Akhirnya para hulubalang kembali ke istana.

“Maafkan Kami, Baginda Raja. Kami tak berhasil menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai di sekitar Danau Tes.” para hulubalang melapor.

“Kalian tidak berhasil menemukan mereka?” tanya sang Raja panik.

“Benar, Baginda Raja! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka.” jawab seorang hulubalang lainnya.

Raja Bikau Bermano kemudian mengumpulkan seluruh penghuni istana. 

Di depan seluruh penghuni istana, Raja menanyakan apakah ada diantara mereka yang mengetahui kemana perginya Pangeran Gajah Meram dengan Putri Jinggai.

“Adakah diantara kalian yang mengerahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.

Gajah Meram Diculik Ular Kepala Tujuh

Tak seorang pun dari penghuni istana yang menjawab pertanyaan Raja. 

Semua orang hanya mampu terdiam. 

Dalam keheningan, tiba-tiba seorang orang tua kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri menjawab, “Hormat hamba, Baginda Raja. Izinkan hamba menyampaikan sesuatu hal.”

“Silahkan sampaikan wahai orang tua!” jawab sang Raja.

“Ampun, Baginda Raja. Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes. Ular Kepala Tujuh sangat sakti juga sangat licik, kejam, dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes.” jawab si orang tua.

“Kalau hal itu benar, maka kita harus segera menyelamatkan mereka sekarang juga. Kita harus memikirkan cara untuk mengalahkan ular kepala tujuh.” kata Raja Bikau Bermano.

“Mohon ampun, Ayahanda. Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang Gajah Meram dan calon istrinya.” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.

Semua orang di istana merasa terkejut, karena Pangeran Gajah Merik baru berusia 13 tahun. 

Raja Bikau Bermano tentu saja tidak menyetujui permintaan putra bungsunya. 

Ia tak ingin kehilangan putranya yang lain. 

Namun Gajah Merik tetap memaksa dengan mengatakan bahwa sejak ia berusia 10 tahun, hampir setiap malam ia bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajarinya ilmu kesaktian.

“Baiklah putraku tercinta Gajah Merik. Besok engkau boleh pergi ke danau Tes untuk membebaskan abangmu. Tapi sebelumnya engkau harus terlebih dahulu pergi bertapa di Tepat Topes guna memperoleh senjata pusaka.” ujar sang Raja.

“Baik Ayahanda.” jawab Gajah Merik.

Gajah Merik Pergi Membebaskan Gajah Meram

Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topos untuk bertapa. 

Tempat itu terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dengan sebuah kampung baru. 

Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan minum. 

Usai melaksanakan pertapaanya, Gajah Merik akhirnya berhasil memperoleh senjata pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. 

Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. 

Sementara selendang sakti, dapat berubah wujud menjadi sebuah pedang.

Selanjutnya, Gajah Merik kembali pulang ke istana dengan membawa kedua senjata pusakanya. 

Saat tiba di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit kerajaan tengah menjaga daerah perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dengan Kerajaan Suka Negeri. 

Karena tidak ingin terlihat oleh para prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. 

Gajah Merik merasa heran karena tak sedikit pun ia tersentuh oleh air sungai.

Awalnya Gajah Merik berniat hendak kembali ke istana terlebih dahulu, namun ketika melewati Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik kemudian menyelam hingga ke dasar danau. 

Tak berapa lama, ia berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Ular sakti. 

Gajah Merik melihat sebuah gapura di depan mulut gua besar. 

Saat akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.

Gajah Merik Bertarung Melawan Ular Kepala Tujuh

“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” teriak seekor ular.

“Namaku Gajah Merik. Aku hendak membebaskan abangku, Gajah Meram.” jawab Gajah Merik.

“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.

Gajah Merik tentu saja tetap menerobos masuk. 

Akibatnya terjadilah perkelahian sengit antara Gajah Merik dengan kedua ular tersebut. 

Setelah beberapa lama mereka bertarung, kedua ular tersebut akhirnya berhasil dikalahkan oleh Gajah Merik.

Selanjutnya Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. 

Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. 

Namun, Gajah Merik selalu memenangkan pertarungan. 

Ketika hendak melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa ular terbahak-bahak.

“Hei, Raja Ular jelek. Keluarlah hadapi Aku jika kau berani! Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam. Lepaskan abangku beserta calon istrinya, atau Aku hancurkan istana ini!” seru Gajah Merik.

Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. 

Desisannya mengeluarkan kepulan asap. 

Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa. 

Si Raja Ular mengatakan bahwa ia bersedia membebaskan Gajah Meram dengan syarat, Gajah Merik mampu menghidupkan kembali para ular pengawal yang ia bunuh dan Gajah Merik juga harus mempu mengalahkan Si Raja Ular Sakti.

Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. 

Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali.

Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu. “Sekarang lawanlah Aku. Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” jawab Ular Sakti Kepala Tujuh.

Tanpa berpikir panjang, Raja Ular langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. 

Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular. 

Pertarungan sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. 

Perkelahian antara manusia dengan binatang itu berjalan seimbang.

Gajah Merik Berhasil Mengalahkan Ular Sakti Kepala Tujuh

Sudah lima hari lima malam keduanya, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. 

Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan. 

Ia hampir kehabisan tenaga. 

Kesempatan tersebut tak disia-siakan oleh Gajah Merik. 

Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular sakti terdesak. 

Di saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.

“Aduuuhh… sakiiit!” Raja Ular menjerit rasa sakit.

Melihat Raja Ular sudah tak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular sakti tiba-tiba kembali menyerangnya. 

“Kamu memang hebat, anak kecil! Aku mengaku kalah,” kata Raja Ular. 

Mendengar pengakuan Raja Ular Sakti, Gajah Merik segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.

Sementara di istana, Raja Bikau Bermano merasa. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. 

Oleh karenanya, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topos. 

Namun, belum juga para hulubalang berangkat ke pertapaan Tepat Topos, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa, mengabarkan bahwa Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai telah kembali dengan selamat.

“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. 

Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai.” hulubalang menjelaskan.

Tak berapa lama, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai tiba di istana dikawal beberapa hulubalang penjaga Danau Tes. 

Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana. 

Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri. 

Selanjutnya, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam.

Gajah Merik Diangkat Menjadi Raja Kerajaan Kutei Rukam

Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. 

Namun, Gajah Meram menolak menerima tahta Kerajaan Kutei Rukam. 

Ia malah menganjurkan Raja untuk menyerahkan tahta kerajaan pada Gajah Merik. 

Setelah didesak, akhirnya Gajah Merik bersedia menerima tahta kerajaan Kutei Rukam dengan syarat ia boleh mengangkat Raja Ular beserta para pengikutnya yang telah ia taklukan menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam. 

Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. 

Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.

Legenda Ular Kepala Tujuh merupakan cerita rakyat Bengkulutepatnya Kabupaten Lebong.

Menceritakan petualangan Gajah Merik, putra bungsu Raja Bikau Bermano mengalahkan Ular Kepala Tujuh penunggu Danau Tes. 

Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. 

Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. 

Oleh karenanya, jika penduduk melintas di atas danau Tes menggunakan perahu, mereka tidak berani berkata sembrono.

Referensi:
  1. Prahana, Naim Emel. 1988. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2, Jakarta: Grasindo
  2. Agni, Danu. 2013. Cerita Anak Seribu Pulau.Yogyakarta: Buku Pintar.
  3. Komandoko, Gamal. 2013. Koleksi Terbaik 100 plus Dongeng Rakyat Nusantara, PT.Buku Seru.
Baca juga cerita rakyat Bengkulu lainnya:

6 komentar:

  1. Mohon maaf penulis cerita Ular Kepala Tujuh ini, cerita ini adalah tulisan saya yang terhimpun dalam CERITA RAKYAT BENGKULU ke 2 pererbit PT Grasindo, Jakarta 1988. Kenapa, nama saya tidak tercantum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada saya masukan di Daftar Pustaka Pak Naim, terima kasih telah berkunjung.

      Hapus
  2. Tim Indofabel, jika berkenan bisa entry cerita rakyat juga di budaya-indonesia.org

    dan terima kasih karena beberapa cerita di website ini saya masukan ke dalam perpustakaan digital budaya-indonesia.org

    BalasHapus
  3. Maaf, ada penulisan nama tempat yang salah "TOPOS" bukan "TOPES"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungan dan koreksinya.

      Hapus