02 Februari 2022

Rohilah

Pengarang: Arawati

Keributan menyelimuti sebuah rumah kayu beratapkan seng di samping sekolahku. Banyak penduduk berkerumun, sebagian ibu-ibu, sebagian bapak-bapak, anak-anak muda, sampai balita pun berkeliaran mengintip di sela-sela ruang dapur yang terbuat dari kayu. Tidak lama polisi datang, police line dipasang. Penduduk tidak boleh sembarangan memasuki area rumah lebih dalam.

Aku tidak tau apa yang terjadi di rumah pembantuku. Memang, dari pagi Mbok Rohilah belum datang ke rumah. Biasanya jam 6 pagi beliau sudah berada di tempat cucian. Beliau menyuci semua pakaian di rumah ini. Menyetrika bajunya sampai licin. Memasak makanan yang lezat dan membersihkan seluruh rumah besar kami. Namun tidak disangka, rumah Mbok Rohilah kini terpasang garis batas polisi, seolah-olah ada tindakan kriminal di sana. Seketika terdengar sayup-sayup orang bersorak-sorai, seolah ada sesuatu yang membuat mereka syok. Aku tidak berani melihatnya lebih dekat, hanya di batas pagar sekolah. Teman-temanku pun juga ikut melihatnya, namun mereka lebih ketakutan menghadapi pelajaran Matematika di jam pertama, yang diberikan oleh Ibu Rini, guru kami yang galak. Hari masih menunjukkan pukul 06.30 WIB, 30 menit lagi masuk.

Aku mencoba memberanikan diri mengintip di sela-sela kerumunan manusia. Tidak lama kemudian, sosok jasad yang ditutupi kain putih keluar dari ruang dapur yang berhadapan langsung dengan halaman samping rumah.

“Itu Rohilah..!” teriak salah seorang tetangganya.

“Ya Alloh... ampuun Gusti...,” seorang ibu menjerit setengah mati melihat jasad yang segera masuk ke dalam ambulan itu.

“Kenapa si Iro? Bunuh diri?” tanya seorang berwajah brewok ke seorang ibu.

“Iya, diduga memang begitu..,” jawab si ibu sambil menahan kesedihan.

Aku mematung, seluruh tubuhku perlahan mendingin seperti es batu. Leherku panas dingin. Tiba-tiba kakiku lemas tidak dapat melangkah. Wajahku pias. Aku tidak percaya kenapa pembantuku melakukan perbuatan demikian. Apakah kedua orang tuaku tau ? ah entahlah... bisa jadi mereka hanya masih menunggu kedatangan Mbok Rohilah di rumah. Atau mereka sudah tau dari tetangga Mbok Rohilah, bahwa beliau sudah meninggal ?

“Itu pembantumu Man ?” tanya Sidik teman sebangkuku.

“iya,” aku cuma menjawab itu.

Teeetttt teeettt....bel masuk sekolah berbunyi. Sidik segera menarikku ke sekolah. Tampaknya dia lebih takut kepada Bu Rini dibandingkan peristiwa tadi. Sementara badanku ditarik oleh Sidik, jiwaku masih di halaman Mbok Rohilah. Aku ingin menelepon orang tuaku tentang kejadian barusan. Namun sayang seribu sayang, tatapan tajam bermata bulat Bu Rini sudah berada di depan pintu kelas. Melihat satu-persatu muridnya yang sedang masuk ke kelas. Tatapan mata itu seolah-oleh akan menerkam kami apabila tidak mematuhi perintahnya.

Aku masih membayangkan peristiwa barusan. Masih merasakan suara derikan kain yang diseret, seolah kain itu diikatkan pada kuda-kuda loteng di atas dapur. Mungkin kain itulah yang dipakai Mbok Rohilah untuk melakukan aksi gantung diri. Kata orang, jasadnya sudah membeku alias kaku. Kemungkinan Mbok Rohilah melakukan aksi tersebut di malam hari. Lehernya lebam dan luka bekas ikatan kain di lehernya, sehingga mengundang ribuan semut merah untuk mengerubungi luka yang ada. Sementara matanya melotot, lidahnya ke luar, wajahnya pucat, itu yang diceritakan Pak Nurdin, tetangga dekat rumahnya ketika menemukan jasad Mbok Rohilah. Pak Nurdin dan istrinya, Bu Endang, penasaran dengan keadaan Mbok Rohilah setelah mendengar tangisan Mbok Rohilah di malam hari. Kira-kira jam 01.00 dini hari, mereka mendengar suara gesekan di loteng rumah Mbok Rohilah dan suara orang yang seolah-olah sedang dicekik. Mereka sepakat mengintip dapur Mbok Rohilah di pagi hari. Kebetulan dapurnya hanyalah susunan papan lusuh yang di sela-selanya bisa dilihat isi dalamnya. Ternyata benar, Mbok Rohilah telah menjadi mayat.

***

“Kamu sudah tau bahwa Mbok Rohilah sudah meninggal ?” ibu bertanya ketika aku pulang sekolah.

“Sudah bu, ibu tadi ke sana?, ke rumah Mbok Rohilah ?”

“Belum, ibu masih menunggu hasil autopsi di rumah sakit, katanya Mbok Rohilah akan dipulangkan ke rumah jam 08.00 malam. Ibu mungkin nanti akan ke sana”

“Aku ikut bu” sahutku.

Ibu menatapku dengan mata yang basah dan memerah lalu berkata “baiklah.”

Entah mengapa aku merasa sangat kehilangan Mbok Rohilah. Dia adalah pembantu kami yang setia. Semenjak aku kecil selalu bersama Mbok Rohilah. Dia suka sekali meninabobokan aku ketika mau tidur siang. Bermain monopoli ketika suntuk dan masih punya waktu luang. Dia menemaniku jajan di warung ketika balita, membawaku ke taman bunga dekat rumah, dan tentunya memasak makanan yang menurutku sangat enak. Tidak ada tanda-tanda kesedihan dalam diri Mbok Rohilah, toh apabila dia sudah sampai ke rumah kami selalu terlihat cerah bahagia. Dia tidak pernah menceritakan hal pribadinya kepada kami. Jadi aku pun merasa Mbok Rohilah baik-baik saja.

***

Pemakaman dilaksanakan malam itu juga. Mbok Rohilah tinggal sebatang kara. Untungnya, tetangganya pada datang membantu. Ibuku juga menyiapkan beberapa perlengkapan jenazah untuk Mbok Rohilah. Ayah sibuk mengurus pemakaman sebagai peristirahatan terakhir. Keluarga kami tampaknya sangat terpukul dengan kepergian Mbok Rohilah. Mereka sangat sibuk dengan urusan ini. Aku hanya mematung di depan jasad beliau. Tanpa disadari aku telah lama melihat wajah beliau yang pucat pasi. Tiba-tiba air mataku sudah menumpuk di pelupuk mata, inilah terakhir kalinya aku melihat Mbok Rohilah. Tiba-tiba kepalaku pusing dan tidak sadarkan diri, pingsan.

***

Hari demi hari tanpa kedatangan Mbok Rohilah ke rumah rasanya hampa. Aku pun jadi harus membiasakan diri makan dari masakan pembantu yang baru di rumah kami, rasanya sangat berbeda, tidak familiar.

Mbok Rohilah tidak lagi menyetrikakan seragam putih biru. Sehingga aku pun terpaksa menyetrika seragamku pada malam hari. Karena telah letih, aku langsung tidur di kamar dengan jam masih berdentang 21 kali.

Mimpi yang tak wajar, inilah yang menimpaku pada malam hari. Mimpi yang membuatku keringat dingin tanpa bisa keluar dari mimpi itu. Mbok Rohilah datang kepadaku. Dia datang dengan penampilan bak mayat hidup. Rambutnya kucel seperti tidak pernah diberi sampo. Kulitnya pucat dengan leher yang kemerah-merahan, dan tak lupa digerubungi semut merah yang menyantap daging-daging dan darahnya. Dia mau berucap, tapi terputus-putus. Seketika aku menggigil, kenapa penampilan Mbok Rohilah seperti ini. Sebetulnya aku tidak menginginkan kejadian seperti ini. Mbok Rohilah dengan penampilan yang mengerikan.

“Aaaa..aa..aaagh..,” dia mulai mengeluarkan suara dengan terbata-bata, melihat ke arahku.

Ingin rasanya aku melarikan diri. Namun kemana ? suasana di sekitarku gelap, layaknya tempat terkutuk. Sepertinya daerah yang sangat familiar. Ya, rumah Mbok Rohilah, yang berseberangan dengan sekolahku. Namun, dengan keadaan tak biasanya, keadaan layaknya sore hari seperti maghrib tiba, ketika setan-setan keluar dari sarangnya. Keadaan dimana awan hitam berarak sambil dihiasi kilatan cahaya petir, seolah-olah menyambut kedatangan badai yang sangat mengenaskan. Untungnya aku terbangun dari tidur, syukurlah hanya mimpi. Keringatku mengucur deras, bajuku basah, wajahku pias, nafasku tersengal-sengal. Seolah peristiwa nyata yang barusan kualami.

Aku ingin melanjutkan tidur, kubalikkan bantal dan berdoa. Aku tidur lelap lagi. Mimpi itu datang ! Tiba-tiba Mbok Rohilah bicara sambil terbata-bata, persis seperti apa yang diucapkannya tadi, tidak jelas. Namun penampilannya telah ditutupi oleh kain kafan, lehernya masih terlihat, wajahnya masih pucat namun dengan mata yang tertutup. Mbok Rohilah seperti ingin menangis, berbicara terbata-bata layaknya orang bisu. Aku tidak menyukai mimpi ini. Aku tau ini hanya mimpi. Aku berusaha untuk bangun. Dengan sekuat tenaga, mataku kugerakkan kesana-kemari, penuh dengan perjuangan. Akhirnya aku bangun dengan nafas tersengal-sengal.

“Tidak.. tidak tidak...” bisikku.

Aku menangis dan ingi pergi ke kamar ayah ibuku, namun rasanya malu. Jam masih menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Aku kembali tidur dengan ketepaksaan. Mimpi ketiga akhirnya datang juga. Mbok Rohilah hanya melewatiku. Dia telah terbungkus kain kafan. Dia hanya melayang seolah-olah ingin menyapa. Mimpiku tidak seganas sebelumnya. Hingga subuh aku terjaga.

***

Hari ini kulalui dengan kegalauan. Ingin rasanya bercerita perihal mimpi itu, namun kepada siapa ? Apakah aku harus diskusi kepada Pak Yayat sang guru agama ? dengan langkah yang berat aku memasuki ruang guru. Pak Yayat duduk dengan secangkir kopi di sampingnya. Di mejanya terdapat tumpukan LKS (lembar kerja siswa) yang harus ia koreksi.

“Pak..” aku menyapa dengan suara tipis.

Pak Yayat melihatku dengan kacamata tebalnya, lalu mempersilahkanku untuk duduk. Aku menceritakan perihal mimpi itu. Mimpi yang menembus alam nyata. Seolah-olah Mbok Rohilah memberikan pesan tersembunyi kepadaku. Pak Yayat mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan. Lalu berkata “yang namaya orang yang sudah meninggal.. yaa mereka masih bisa mengunjungi dengan melihat-lihat orang terdekatnya selama 40 hari. mereka masih berada di dunia ini, sebelum pergi ke alam kubur.”

“Jadi, menurut bapak, apakah di dalam mimpiku adalah Mbok Rohilah ?”

“Bisa jadi,” beliau menjawab singkat, lalu berkata lagi “doakan saja beliau ya.. barangkali beliau meminta kita untuk mendoakannya, meskipun... orang yang mati dalam keadaan bunuh diri, amal ibadahnya tidak aka diterima dan dia tidak akan bisa masuk sorga.” Deng.... kata-kata terakhir yang dilontarkan Pak Yayat menyayat hatiku. Kenapa... kenapa orang sebaik Mbok Rohilah tidak dapat menjadi penghuni di sorga ? hatiku kacau, kenapa Tuhan menciptakan sorga dan neraka sedangkan Mbok Rohilah yang baik hati bisa jadi sedang ditempa dilema hingga membuatnya mengakhiri hidup. Tapi itu kembali lagi terhadap hak prerogeratif sang pencipta. Bukankah sorga dibuat olehNya ? lalu kenapa kita yang protes terhadap sesuatu yang diciptakan olehNya. Dia berhak untuk menentukan sesuatu.

Aku pulang dengan hati yang kacau. Ibuku melihat kegalauanku.

“Man, ibu dengar kau menggigau tadi malam, mimpi apa yang kau sembunyikan ?”

Dengan berat hati, aku menceritakan perihal mimpi itu. Ibu menangis tersedu-sedu. Rasanya ada sesuatu yang dia sembunyikan, air matanya mengucur deras, napasnya tersengal dengan segala ucapan yang terdengar samar di telingaku. Ia lalu pergi ke kamar, mengambil sebuah map yang berisikan lembaran-lembaran kertas.

“Bacalah ini Man.. baca...” ibuku memberikan map itu.

Aku menerima dan membaca kertas-kertas dalam map itu dengan seksama, dan dadaku langsung sesak.

***

15 tahun yang lalu, Rohilah, itulah perempuan desa yang baru menamatkan sekolah menengah pertamanya. Cinta pertamanya adalah pemuda kampung bernama Iman. Iman yang pengangguran jatuh hati dengan Rohilah dan akan meminangnya. Mereka akhinrya menikah. Mereka berdua terlahir sebagai anak buruh tani, keadaan ekonomi yang pas-pasan memacu mereka untuk bisa mengais rezeki di Kota Jakarta.

Rohilah akhirnya mengandung anak Rohman. Namun sayang. Rohman berencana mencari rezeki di kota lain. Ia pamit kepada istrinya yang tengah hamil 7 bulan. Ia berjanji akan kembali lagi. Namun beberapa bulan sang suami tak kunjung datang. Rohilah yang berdagang kecil-kecilan tak sanggup lagi mencari rezeki dengan berkeliling dari suatu tempat ke tempat lain. Hingga akhirnya si jabang bayi mau lahir ke dunia. Dia dibantu bidan desa yang baik hati, tanpa pamrih tidak meminta sepeserpun kepada Rohilah. Rohilah melahirkan bayi laki-laki dengan selamat. Namun, dia bingung menghadapi kenyataan hidup yang demikian. Anakanya makan apa ? sementara ia tidak lagi bekerja. Suaminya hilang entah kemana. Kedua orang tuanya di kampung tidak mengetahui keberadaan persis mereka di kota. Rohilah akhirnya mau tidak mau menyerahkan anak semata wayangya untuk dijadikan anak angkat kepada sepasang suami istri kaya dan tidak bisa memiliki keturunan. Mereka bahagia sekali menerima kehadiran bayi laki-laki itu. Rohilah bisa menjadi pembantu rumah tangga mereka. Hingga sang anak telah beranjak remaja. Rohilah merawat dan membesarkan dengan sepenuh hati anak majikan yang sebenarnya anak kandungnya sendiri. Namun sayang, ia tetap tidak bisa membawa anak kandungnya ke rumah kontrakan kayunya.

Suatu ketika,Rohilah tidak sengaja bertemu dengan suami yang sempat meninggalkannya. Mas Iman bertemu Rohilah di pasar. Namun sayang seribu sayang, Mas Iman telah membonceng seorang wanita di kendaraan roda duanya. Sepertinya dia sudah memiliki pekerjaan yang cukup. Rohilah segera menghampiri Iman. Iman langsung enggan dan menolak kehadiran Rohilah. Dia berkata bahwa tidak kenal dengan Rohilah, sang istri muda bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Iman hanya berkata bahwa wanita itu mengada-ada. Rohilah ditinggalkan dengan semburan asap knalpot sepeda motor Iman. Rohilah terduduk lesu di atas tanah, dia menangis sejadi-jadinya. Harapannya pupus. Keluarganya hancur. Iman diambil wanita lain. Anaknya diambil oleh majikannya. Rohilah pulang dengan keputusasaan, seolah-olah dunia sedang mengutuknya dari segala arah, kemiskinan telah menyeretnya menjadi orang tak berguna, hingga Rohilah mengakhiri hidupnya di dapur rumah kontrakannya.

***

Aku membaca satu persatu tulisan yang ada di kertas-kertas itu. Dimulai dari surat perjanjian anak angkat, hingga membaca akta kelahiranku sendiri. Rohman, Rohman Setiawan yang terlahir dari pasangan suami istri bernama Rohilah dengan Iman.

“Rohman adalah gabungan dari Rohilah dan Iman,” kata ibuku dengan suara pelan.

Aku terisak, tak peduli orang menganggapku cengeng meski keadaanku sudah baligh. Air mata membasahi kertas-kertas itu. Ingin rasanya aku kembali ke masa dulu, dimana Mbok Rohilah masih hidup, dan aku memanggilnya dengan sembutan “bunda”, dan diapun memanggilku dengan panggilan “anakku.”

Sumedang, 30 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar