Di sebuah kampung yang terletak di wilayah Aceh, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal bersama tujuh anak kandungnya. Mereka hidup rukun, tentram, dan bahagia. Anak sulung berusia 10 tahun, sedangkan si bungsu berusia 2 tahun. Kedua orang tua mereka bekerja menjadi petani sayur di sebuah kebun. Sayur-sayuran tersebut dijual ke pasar untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan sisanya mereka gunakan untuk disantap bersama.
Suatu ketika, kampung tersebut dilanda kemarau yang panjang. Sumber air mulai mengering. Tanah pun menjadi kering kerontang. Para penduduk mulai kebingungan untuk mencari sumber air dan bahan makanan. Tumbuh-tumbuhan menjadi kering dan mati akibat kekeringan, begitupula sayur-mayur di kebun keluarga tujuh anak lelaki tersebut, juga tidak bersisa. Orang tua mereka mulai gelisah memikirkan nasib mereka kedepannya. Membesarkan tujuh orang anak yang masih kecil tidaklah mudah. Akhirnya mereka bermusyawarah untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dengan berat hati, mereka berencana untuk membuang ketujuh anak lelaki yang disayanginya.
“Bang, sebenarnya aku berat untuk membuang anak-anak kita di hutan,” kata ibu tujuh anak lelaki tersebut kepada suaminya.
“Saya juga tidak tega, namun harus bagaimana lagi. Kita sudah tidak mampu untuk memberikan mereka makanan,” ujar sang suami.
“Jika Abang mau berniat membuang mereka ke tengah hutan, bagaiamakah caranya agar tidak ketahuan bahwa kita akan membuang mereka ?” tanya sang istri.
“Begini Dik, kita ajak mereka untuk mencari kayu bakar sampai ke tengah hutan. Ketika sampai di tengah hutan dan waktunya istirahat, kita berpura-pura mencari air minum dan meninggalkan mereka,” jelas sang suami.
“Baiklah jika memang begitu rencanamu, Bang,” ujar sang ibu.
Perbincangan kedua orang tua itu sebenarnya terdengar oleh anak ketiga. Namun, karena sang anak tidak mau dimarahi oleh orang tuanya, dia hanya diam. Sang anak hanya berpura-pura tidur meskipun linangan air mata membasahi pelupuk matanya, sebab tidak lama lagi mereka akan dibuang oleh kedua orang tuanya sendiri.
Keesokan harinya, ketujuh anak lelaki tersebut dibawa orang tuanya utuk mencari kayu bakar di hutan. Tidak biasanya mereka dibawa ke tengah hutan yang rindang. Namun, mereka tidak curiga dengan hal tersebut, kecuali anak ketiga yang telah mengetahui rencana orang tuanya.
Menurut cerita rakyat Aceh, mereka mulai mengumpulkan kayu bakar dengan suka cita. Banyak sekali kayu yang mereka temukan untuk dijadikan kayu bakar. Sebab, hutan tersebut sangat lebat dan ditumbuhi oleh pepohonan.
Menjelang siang, sang ibu mengajak ketujuh anak lelakinya untuk beristirahat. Orang tuanya meminta anak-anak mereka untuk tetap berdiam di tempat peristirahatan tanpa mengikuti mereka untuk mencari air minum.
“Anak-anakku, ibu dan ayah akan pergi sebentar untuk mencari sumber air, sebab persediaan air minum kita mulai habis. Kalian tetaplah di sini. Ibu dan ayah akan cepat kembali,” ujar sang ayah kepada anak-anaknya.
“Kalian kami tinggalkan dulu sebentar ya, ibu dan ayah akan segera kembali,” ujar sang ibu menimpali.
“Cepatlah kembali Yah, Ibu...” kata si bungsu.
Ayah dan ibu mereka pergi bergegas meninggalkan ketujuh anak lelaki itu. Mereka sudah tidak menghiraukan kembali perkataan anak bungsunya, karena mereka telah berniat untuk meninggalkan mereka di tengah hutan.
Setelah beberapa saat, akhirnya ketujuh anak itu mulai gelisah. Si sulung menyarankan kepada adik-adiknya agar mereka menyusul orang tuanya yang sedang mencari sumber air. Namun hal tersebut dicegah oleh anak ketiga.
“Jangan Bang. Aku sudah tau bahwa orang tua kita memang berniat meninggalkan kita di tengah hutan ini, sia-sia saja jika kita menyusul mereka,” kata sang adik.
“Apa maksudku wahai adikku ?” si sulung tidak puas dengan pernyataan adiknya.
“Begini, tadi malam aku mendengar percakapan ayah dan ibu kita. Mereka berencana akan meninggalkan kita di tengah hutan karena sudah tidak sanggup membesarkan kita. Mereka tidak bisa memberikan kita makan karena kemarau yang panjang ini.”
Anak kedua pun bertanya “Kenapa kau baru menceritakannya kepada kami?”
“Aku takut jika ayah dan ibu murka Bang, untuk itulah aku menceritakannya sekarang,” jawab anak ketiga.
Si sulung menghela nafas, sekarang dia yang akan bertanggung jawab untuk menyelamatkan adik-adiknya. Hari semakin gelap, beruntunglah mereka akhirnya bisa menemukan sebuah pohon besar dan rindang untuk berteduh. Apalagi pohon rindang itu memiliki lubang besar di tengah batangnya, sehingga si sulung dan adik-adiknya bisa beristirahat di sana.
“Adik-adikku, kalian harus tetap berada di tempat, aku akan memanjat pohon ini hingga ke dahannya. Mana tau ada kepulan asap di sekitar daerah ini. Jika benar ada, berarti ada perkampungan yang tidak jauh dari tempat ini,” kata si sulung.
Keenam adiknya patuh dengan perintah kakaknya. Sang kakak akhirnya memanjat pohon hingga ke dahannya. Beruntunglah akhirnya si sulung menemukan kepulan asap yang tidak jauh dari tempat mereka berada.
Mereka akhirnya bergegas untuk mengampiri sumber kepulan asap itu. Setelah sampai pada sumber asap tersebut, mereka menemukan sebuah rumah yang sangat besar.
“Jangan-jangan ini adalah rumah raksasa,” ujar salah satu dari mereka.
Semuanya tercegang dengan apa yang mereka lihat saat itu. Tidak lama kemudian, tampaklah raksasa wanita yang keluar dari rumah tersebut.
“Kenapa kalian ke sini ? hai anak manusia,” tanya si raksasa wanita.
“Kami adalah kakak beradik dan kami dibuang oleh orang tua kami di hutan,” jawab si sulung.
Mendengar ucapan si sulung, raksasa wanita itu berkata “Baiklah, kalian boleh masuk ke rumah ini. Makanlah makanan yang kalian sukai di rumah ini.”
Mereka akhirnya dipersilahkan masuk ke rumah raksasa itu. Di dalam rumah raksasa tersebut, terhidanglah banyak makanan yang enak. Mereka memakannya dengan lahap karena sudah kelaparan.
Ketika hampir selesai makan, si rakasasa wanita berkata “Cepatlah habiskan makanan kalian, tidak lama lagi suamiku datang dari berburu. Dia menyukai daging manusia. Kalian sebaiknya bergegas pergi ke loteng rumah untuk menyelamatkan diri.”
Ketujuh anak lelaki itu bergegas mematuhi perintah raksasa wanita. Beruntunglah mereka telah sampai di loteng ketika raksasa laki-laki telah tiba di rumah.
“Aku mencium bau daging yang lezat, yaitu daging manusia. Dimanakah kau sembunyikan manusia-manusia itu, hai istriku?” tanya raksasa laki-laki.
“Mereka ada di atas loteng, suamiku. Mereka masih kecil-kecil, daging mereka masih sedikit. Sebaiknya kita tunggu sampai mereka telah beranjak dewasa,” jelas si raksasa wanita.
Keesokan harinya, si raksasa laki-laki pergi kembali untuk berburu. Setelah suaminya pergi berburu, si raksasa wanita menyuruh ketujuh anak tersebut untuk turun dari loteng rumah dan menyuruh mereka untuk pergi. Si raksasa wanita tidak lupa membekali mereka dengan makanan, emas, dan intan.
“Terimakasih atas kebaikanmu, Ibu raksasa,” jawab si sulung.
Mereka akhirnya berpamitan dan segera meninggalkan rumah raksasa itu. Setelah sampai di sebuah daerah yang berada di tepi pantai, mereka akhirnya membuat perahu untuk menyeberangi lautan. Setelah sampai di negeri seberang, ketujuh anak lelaki itu menjual emas dan intan pemberian si raksasa wanita. Hasil dari penjualan emas dan intan itu digunakan untuk membeli tanah yang luas. Tanah tersebut akhirnya dibagi dan diolah menjadi perkebunan serta rumah tempat tinggal. Mereka bekerja dengan pernuh keuletan. Ketujuh bersaudara itu saling membantu satu sama lain.
Waktu demi waktu pun berlalu, mereka telah beranjak dewasa. Tujuh orang bersaudara itu hidup makmur dan rukun. Kehidupan mereka telah lebih dari cukup.
“Kakak-kakakku, aku teringat ibu dan ayah. Aku rindu dengan mereka,” ujar si bungsu.
“Benar adikku, abang juga rindu kepada mereka. Meskipun mereka telah membuang kita, bagaimanapun mereka tetap orang tua kita,” ujar si sulung.
“Bagamana jika kita berusaha untuk mencari mereka ?” tanya anak keenam.
“Setuju !” semuanya serempak menjawab.
Akhirnya mereka pergi mencari keberadaan orang tua yang telah lama mereka rindukan. Mereka melintasi lautan, mencari dari satu pulau ke pulau lainnya, dari satu kampung ke kampung lainnya. Usaha tersebut tidak sia-sia, akhirnya mereka menemukan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya telah berusia senja. Mereka hidup dalam kemiskinan dan memprihatinkan. Dengan penuh kasih sayang, ketujuh anak lelaki itu membawa kedua orang tua mereka untuk tinggal bersama. Kedua orang tua mereka tidak henti-hentinya menangis karena menyesali perbuatan mereka. Mereka juga rindu kepada anak-anaknya.
“Maafkan kami, wahai Anak-anakku. Kalian kami tingalkan di hutan karena kami tidak mampu memberi makan kalian,” kata sang ayah dengan berderai air mata.
“Jangan disesali, wahai Ayah. Beruntunglah jika kita masih bisa bertemu dan berkumpul kembali. Kami tau bahwa Ayah dan Ibu sangat mencintai kami,” ujar si sulung.
Akhirnya kedua orang tua dan ketujuh anaknya bisa berkumpul bersama. Mereka hidup rukun dan damai.
Cerita ini mengisahkan tentang tujuh orang anak yang berasal dari keluarga sederhana. Ayah dan ibu mereka menyayangi mereka semua. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang tidak baik membuat tujuh anak tersebut dibuang ke tengah hutan.
Demikanlah cerita rakyat dari Nanggroe Aceh Darussalam yang berjudul Tujuh Anak Lelaki. Hikmah yang dapat kita ambil dari cerita rakyat tersebut adalah jangan menyimpan dendam, selalu berusaha dan berbuat kebaikan dimana kita berada, dan selalu mengutamakan kemandirian di dalam kehidupan kita. Terimakasih telah mengunjungi blog ini.
Terimakasih kak.
BalasHapussama-sama
Hapus