21 Januari 2022

Baiklah, Aku Pulang

Pulanglah nak, ibu rindu padamu,” ibu meneleponku sambil setengah berbisik. Getaran suaranya menyampaikan rasa kerinduan yang luar biasa terhadap anaknya. Sudah 2 tahun aku masih bergelut demi sesuap nasi di Kota Bekasi ini. Beruntunglah aku memperoleh pekerjaan yang layak sesuai bidang. Jika tidak, mungkin aku sudah menganggur di kampung sana. Kampung yang sudah membesarkanku. Kampung yang selalu dihiasi butiran padi menghijau, menguning, lalu kuning matang dengan panen raya yang penuh harapan.
Baiklah, Aku Pulang
Di belakang rumah terdapat kolam ikan alami yang dapat dipancing ikannya setiap waktu. Terkadang aku mendapatkan belut, ikan lele, bahkan seekor burung ruak-ruak berhasil kutangkap apabila mereka mengerami telurnya di rawa-rawa. Tapi ibu selalu melarangku agar ruak-ruak itu jangan ditangkap ketika mengerami anaknya, kasihan telur-telurnya, pendapat ibuku. Di samping rumah terdapat semak belukar yang masih aku rasakan bau rumput basahnya. Bau rumput yang disirami hujan tadi malam, menyeruak hingga ke teras rumah. Jika sore tiba, peternak sapi menggembalakan hewan ternaknya ke semak belukar itu. Mereka memakan rumput yang terselip di antara hijau tanaman. Lalu mengunyahnya dengan santai, kadang sambil berdiri, kadang duduk santai. Masa kecil yang cukup indah kulalui bersama saudara-saudara dan keluarga besarku.

Kurasa waktuku mepet sekali. Baju-baju itu sebagian sudah kumasukan di koper kesayangan yang berwarna hijau dongker. Ada dua koper yang kubawa, koper berwarna hijau dongker dan hitam legam, lalu tas sandang dari kulit pemberian ibu ketika aku baru masuk kuliah. Tampaknya harus mengisi kekuatan dengan tidur di sore hari. Esok sore saat maghrib tiba, tepatnya pukul 18.00 aku bersiap mengudara ke ranah Minang.

***

Gigiku menghancurkan makanan berupa keripik singkong yang aku beli di warung dekat kosan. Cukup untuk mengganjal perut saat ini. Rasa dan aroma vetsinnya menyeruak hingga ke sudut-sudut lidah. Rasa getir juga aku rasakan di dalam rongga mulut, segetir kehidupanku ketika mencari pekerjaan dulu. Burung besi terkadang mondar-mandir di depan ruang tunggu penerbangan. Menunggu giliran mereka untuk terbang mengudara. Sejenak kutatap sekeliling area. Ada sepasang bule yang sedang kasmaran duduk berdampingan saling pegangan tangan, mungkin mereka sedang merencanakan perjalanan ke Bali, entahlah. Di sebelah kanan kulihat ibu-ibu yang bersiap untuk berangkat sambil memoleskan gincu di bibirnya, memulas bedak padat dengan merk terkenal, mempertegas alisnya, memulas eyeshadow, serta mascara pun tak lupa ia tambahkan. Dia tertawa cekikikan dengan ibu-ibu sosialita lainnya. Mereka tampaknya istri pengusaha atau orang berduit. Sedangkan di sebelah kiri ada seorang bapak yang tidur dengan mulut terbuka, menandakan betapa letihnya perjalanan yang dia lalui. Kemungkinan si bapak melakukan transit di bandara ini, lalu melanjutkan pergi ke tempat lain.

Panggilan demi pangilan telah kudengar dari tadi, mulai dari penerbangan ke Denpasar, Manado, Ujung Pandang, Pangkal Pinang, dan sebagainya. Aku sengaja datang lebih awal, agar tidak terjebak macet saat perjalanan, maklum berangkat menggunakan kendaraan umum. Aku belum berkecukupan apabila membeli sebuah kendaraan pribadi. Lagipula aku takut mengendarai kendaraan sendiri. Seketika diriku menoleh ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu masih menunjukkan jam 5 sore.

Angin ribut diiringi suara gemuruh pesawat yang tak henti-hentinya berlalu-lalang. Panggilan untuk tujuan Padang telah masuk ke telingaku. Orang-orang pada ribut berdesak-desakan menuju pesawat, tak terkecuali diriku. Mereka tampak sibuk dengan keperluan masing-masing. Hari telah senja. Maghrib pun tiba. Pandangan mulai gelap berhiaskan awan tebal. Sesekali kilatan cahaya menghampiri mega yang mendung, menandakan akan adanya hujan besar. aku menyesal kenapa mengambil waktu perjalanan di sore hari. Bukannya ini adalah waktu yang tepat untuk sholat maghrib ? bukankah maghrib merupakan waktu yang singkat ? namun, kenapa kau melakukan perjalanan tepat di saat maghrib ? sepertinya aku telah berdosa kepada Tuhan. Betapa terkutuknya keputusanku ini. Dimana aku harus melakukan perjalanan pulang diiringi oleh setan-setan yang keluar dari sarangnya. Hujan rintik-rintik memberikan ritme tersendiri dari riuhnya perjalanan kami, sang penumpang. Tak ada yang berani kabur membalikan arah untuk menunaikan 5 waktu. Semuanya tertuju kepada pintu masuk pesawat.

Aku berada di posisi tengah. Tempat dudukku persis bersanding dengan pintu emergency. Kenapa mereka menempatiku di sini ? apa mungkin karena aku jomblo ngenes yang sendirian melakukan perjalanan?, bukan wanita hamil dengan kandungan yang memberatkan atau anak-anak yang masih bau kencur. Aku seperti dijadikan kelinci percobaan apabila pesawat ini mengalami musibah. Jika pesawat ini ditimpa malapetaka, maka akulah yang dijadikan percontohan untuk menerobos pintu emergency. Seorang bapak-bapak menyapaku, dia duduk persis di sebelahku. Tampangnya yang sok akrab dan tanya sana sini tentang diriku mengingatkanku kepada sosok Datuk Maringgih dalam cerita Siti Nurbaya.

Perkiraanku tidak salah. Hujan besar ditambah dengan tiupan angin yang sangat dahsyat mengiringi kepergian kami. Sesaat setelah take off, aku tidak berani melirik ke arah jendela pesawat. Namun kepenasaranku kambuh, kuintip jendela dengan menariknya ke atas setelah 45 menit mengudara. Dibawah tampak samar-samar lautan yang dihiasi dengan ombak yang berlipat-lipat. Betapa dahsyatnya angin ini. Apakah nelayan yang melaut di bawah sana dapat menghadapinya ? Hujan petir pun tampak gemuruh menghantui. Pesawat yang aku tumpangi mengalami turbulensi. Belum pernah aku merasakan goncangan mahadasyat ini. Beberapa penumpang, khususnya ibu-ibu berteriak dengan melafadzkan asma Allah. Mereka beristighfar.

“Allahu akbar.... Allahu akbar...” teriakan penumpang membahana di pesawat ini.

Goncangan demi gocangan kulalui. Aku merasa bagasi bawah pesawat ini telah terbuka pembukanya, hingga koper hijau dan hitamku jatuh ke Samudera Hindia dan akhirnya dimakan ikan paus. Sang pilot berbuat nekad sambil menerobos kuatnya tiupan angin saat landing dimulai. Waktu landing terasa begitu lama, dan akupun merasa masih di atas samudera. aku tidak memikirkan masa depanku lagi, yang kupikirkan adalah bagaimana caranya ketika aku harus berhadapan dengan malaikat yang akan menanyakanku ketika telah masuk di alam kubur. Apakah di hari terakhirku, aku sempat sholat maghrib. Seketika aku menyesal dan sangat menyesal. Kenapa aku memilih waktu penerbangan ini. Ingin rasanya aku memutar waktu agar dapat memperbaiki kembali hidupku dengan amal ibadahku. Ingin rasanya aku berbakti lebih kepada orang tuaku. Ingin rasanya aku berhenti melaksanakan ghibah terhadap teman-teman yang membuat aku iri bercampur dengki. Ingin rasanya tidak melakukan tindakan yang dapat melukai perasaan orang lain, dan sejuta perilaku lainnya yang seharusnya aku lakukan dalam hal kebaikan. Tapi rasanya sudah terlambat. Sang pilot berusaha menempuh ganasnya topan yang mengepung pesawat kami. Kemungkinan terjadi kerusakan mesin. Aku tidak menyadari kapan pesawat ini turun menuju laut. Namun, terdengar jelas dentuman menuju permukaan laut. Pesawat kami telah mendarat, bahkan dikatakan kelewat mendarat, dia telah mendarat di atas air lalu menghujam turun ke dasarnya. Seketika aku melihat ruas-ruas air di jendelaku. Menandakan kami berada di dalam lautan. Gelapnya alam yang kami masuki. Seketika pramugara menyuruh kami untuk memasang oksigen dengan suaranya yang telah terbata-bata, saat itu juga lampu ruangan di pesawat ini padam, hingga ruangan gelap gulita. Tak lama aku mendengar suara yang sangat keras, seolah-olah pesawat kami membentur karang yang kuat, dan aku tak tau apa-apa lagi.

Suara motor memecah alam mimpiku, ternyata dari kurir paket yang ditujukan kepada teman satu kosan. Aku terhenyak dari alam bawah sadar. Seketika aku meraih smartphoneku, membuka aplikasi dan merubah perjalanan pergi dari waktu maghrib ke pukul 09.00 pagi, waktu yang indah untuk berangkat sesudah melaksanakan sholat dhuha, Alhamdulillah.

Sumedang, 2 Agustus 2020

Baca juga cerita pendek lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar