Mirna membanting tas sekolahnya, lalu rebahan di atas kasurnya. Seleksi latihan gabungan paskibra tingkat kota itu membuatnya kecewa. Kenapa tidak ? dia tidak lolos seleksi di tahap berikutnya. Tidak lolos seleksi berarti secara tidak langsung tidak akan bisa diterima untuk seleksi paskibraka tingkat Kotamadya. Dia merasa harapannya pupus.
Bayanganya menjadi anggota paskibraka tingkat nasional menguap sudah. Dia tau betul bahwa PBB nya jempol, pengetahuannya bagus, dan tentu saja sikapnya yang banyak dipuji senior dan pelatihnya. Namun apa daya, dia terbentur di tinggi badan. Tinggi badannya hanya 158 cm. Tentu tidak akan lolos menjadi anggota paskibra tingkat kotamadya, apalagi tingkat nasional, absurd.
“Mir, udah pulang ? ini ibu masakin makanan kesukaanmu. Martabak telor dan ketan srikaya” perlahan ibunya mengetuk pintu kamarnya.
“Iya, bu,” hanya itu yang dijawab Mirna. Ia merasa tidak berselera untuk makan.
Ibunya sedikit mematung di depan kamarnya. Ia sempat ingin menanyakan, bagaimana hasil seleksi latihan gabungan yang telah diikuti oleh anaknya. Apakah lolos apa tidak. Namun, dia tidak tega untuk bertanya. Sang ibu sudah berasumsi bahwa jawabannya adalah pasti tidak lolos.
Malam itu, Mirna hanya mematung di depan televisi. Ayahnya sedang menyelesaikan tugas kantor di ruang tamu. Ibunya menghela napas lalu angkat bicara.
“Yang namanya kompetisi pasti ada menang, pasti ada kalah...,” dengan sedikit senyuman ia melanjutkan “jadi itu wajar.”
Mirna mengangguk pelan, namun tanpa disadari air matanya sedikit keluar. Dia menyeka air matanya. Mirna tidak mau ibunya tau bahwa dia menginginkan sekali untuk menjadi anggota paskibra.
“Oh ya, ekstrakurikulermu yang baru apa namanya ?, seni budaya kan ? gimana perkembangan kegiatan kamu di sana ?” sang ayah mulai menimpali.
“Iya yah, hmmmm” Mirna sedikit menghela napas. Dia sebenarnya tidak terlalu fokus dengan ekstrakurikuler kedua itu. Hanya karena dia pintar dalam bernyanyi, berpuisi, dan berpidato, itupun kata teman-teman dan keluarganya. Dia disarankan untuk masuk ekstrakurikuler itu. Dia hanya sedikit berminat. Minat utamanya tetap pada ekstrakurikuler paskibra. Menurutnya, paskibra jauh lebih bergengsi. Jauh lebih disegani, dan jauh lebih oke.
“Hai Mir... kamu gimanahh kabarnyahhh ?” tanya Eki dengan nada centilnya ketika mereka sedang istirahat siang di sekolah. Eki adalah teman sekolah dan satu ekstrakurikuler dengan Mirna, yaitu paskibra.
“Baik,” jawab mirna singkat.
“Ih... kamu nangis yahhh?” tanya Eki sambil menunjuk ke arah mata Mirna.
“Nggak kok,” Mirna mengelak. Mirna berusaha agar wajahnya tidak terlihat sedih. Dia sedikit tersenyum, walaupun hanya senyuman di bibir. Matanya masih memendam kesedihan.
“Sama, aku juga sedih,” Eki juga mengungkapkan perasaannya. “Mungkin ada kecurangan ketika seleksi lagab (latihan gabungan) kemarin,” Eki mulai berspekulasi.
“Ah, jangan ngaco deh,” Mirna berusaha menjawab.
“Buktinya, anak Bu Endang bisa lolos, padahal tuh yaa anak... baru seumuran jagung masuk paskibranya. PBB nya pun gak bagus-bagus amat. Gue yakin ini pasti nepotisme,”celetuk Eki.
“Tapi tinggi badannya itu loh, yang bikin lolos, 168 cm kan. Apalagi postur tubuhnya proporsional. Yaa wajar lah, gak kayak kita nih postur kurcaci,” bisik Mirna.
“Lu ngeledek gua ?” tanya Eki dengan delikan yang tajam.
“Eh, ngga kok. Kan kita berdua kan, tingginya segitu, hihihiiii,” Mirna berusaha tersenyum dan tertawa.
Mereka akhirnya terus ke kantin dan memesan soto. Sebenarnya Eki tidak terlalu berambisi untuk menjadi anggota Paskibra. Cuma, karena gebetannya, Kak Rio juga ikut dalam ekstrakurikuler itu. Rio adalah salah satu cowok favorit anak-anak perempuan di sekolah itu. Apalagi rio juga menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Namun apalah daya, Rio sudah punya pacar. Pacarnya adalah sekretaris OSIS itu sendiri, Kak Dita.
Namun Mirna, dia sangat berambisi sekali menjadi anggota paskibra. Cita-citanya untuk menjadi anggota paskibraka tingkat nasional dan berlaga di Istana Negara sangatlah diidam-idamkannya. Ia ingin membanggakan orang tuanya agar menjadi idola kaum muda dan teman sebayanya. Namun peristiwa kemarin telah memupuskan harapannya. Tinggi badannya dianggap kurang memadai untuk bisa dikatakan menjadi anggota paskibra. Mengingat kejadian kemarin membuat hatinya terisak. Ingin sekali ia kembali ke rentang waktu yang lalu. Dimana dia masih bisa tumbuh tinggi. Berolah raga jauh-jauh waktu untuk menunjang postur tubuhnya, berenang, olah raga basket, bersepeda, meminum suplemen yang baik untuk peninggi badan.
“Mirna,” suara Bu Tetty membuyarkan lamunannya. Bel tanda masuk sudah berbunyi, tapi Mirna masih berdiri menyandar di depan kelas. “Ayo masuk,” Bu Tetty sang guru Bahasa Indonesia meraih tubuh Mirna dengan tangannya. Bu Tetty bagi Mirna adalah guru yang baik. Dia sangat memperhatikan murid-muridnya seperti anaknya sendiri. Bu Tetty pula yang menyarankan agar Mirna masuk di ekstrakurikuler Seni Budaya. Hal itu dikarenakan Bu Tetty adalah pembina ekstrakurikuler Seni Budaya dan tau bahwa Mirna jago menulis puisi dan membuat naskah pidato. Namun, Mirna hanya menganggap bakatnya biasa-biasanya saja.
“Kemaren, sekolah kita mendapat kiriman undangan melalui telegram. Telegram itu dari Universitas Bangsa Utama. Ada undangan lomba tingkat provinsi,” Jelas Bu Tetty di akhir proses kbm Bahasa Indonesia.
“Oh gitu bu, wah,” Mirna menangapi.
“Habis pulang sekolah kamu datang ke ruangan ibu ya, sekarang kan mau belajar Matematika dulu,” kata Bu Tetty.
“Iya Bu,” jawab Mirna sambil tersenyum.
“Apa kata Bu Tetty ? kamu disuruh ikutin lomba yah ?” tanya Dea teman sebangku Mirna.
“Mungkin, kayaknya,” jawab Mirna.
“Ikut aja. Aku yakin kamu pasti bisa. Kalo di eskul paskus aku kurang yakin kamu bisa berhasil. Soalnya tinggi badan kamu gak memungkinkan,” kata Dea lagi. Mirna sedikit terkejut, namun benar apa yang dikatakan Dea. Mana mungkin pemilik tinggi badan 158 cm bisa lolos menjadi anggota paskibra.
Mirna akhirnya mendatangi ruangan Bu Tetty. Bu Tetty sudah menunggu di sana. Bu Tetty tesenyum lalu berkata “ibu mau menjadikan kamu sebagai perwakilan sekolah. Bukan kamu saja, ada Iwan dan Ira yan juga ibu tunjuk sebagai perwakilan lomba ini.”
“Lomba apa bu ?” tanya Mirna.
“Lomba balap karung,” jawab Bu Tetty singkat. Mirna kaget.”Hahahaha... bukan, lomba baca puisi tingkat provinsi.” Kata Bu Tetty sambil tertawa.
Mirna hanya tersenyum sumringah.
“Habisnya kamu terlihat sedih sih. Kenapa kamu Mir ?” der, Bu Tetty ternyata melihat perubahan di wajah Mirna.
“Gak ada, Bu,” jawab Mirna.
“Baiklah kalau begitu, kalau memang masalahnya tidak berat, tidak perlu dipikirkan. Tapi kalau kamu butuh untuk diperbincangkan, ibu siap menerima unek-unekmu,” kata Bu Tetty.
“Gak bu, he, cuman kecewa aja kemaren ga lolos latihan gabungan,” Mirna mulai angkat bicara.
“Ooh... yang itu. Apa perlu ibu lobi ke Bu Endang sebagai pembina ekstrakurikuler paskus ?” tanya Bu Tetty serius. “Jika memang kamu mau atau sangat ingin sekali mengikuti latihan gabungan itu ?.”
Mirna kaget lalu menjawab “tidak perlu bu, tidak masalah kok, kan udah diobatin sama perwakilan sekolah buat lomba ini.”
Bu Tetty tersenyum, lalu menyodorkan formulir pendaftaran peserta. “Ini tanda tangan dulu,” kata beliau. Lalu Bu Tetty menyodorkan naskah puisi wajib dan naskah puisi-puisi pilihan untuk dipilih dalam perlombaan.
“Iwan dan Ira sudah mengambil puisinya, tadi pas jam istirahat,” kata Bu Tetty. “Waktunya seminggu lagi, mudah-mudahan kita akan menang, karena jagoannya sudah ketemu”.
Mirna masih samar apa yang dimaksud oleh Bu Tetty. Jagoannya sudah ketemu. Apakah dia, Iwan atau ira ? ah entahlah.
Mirna masih menekuni larik per larik dan bait per bait dalam puisi itu. Puisi wajib mengisahkan tentang semangat kepahlawanan. Sedangkan puisi pilihan temanya beragam, ada yang bahagia, sedih, haru, dan kemarahan. Mirna memilih puisi bertemakan kesedihan karena cocok dengan suasana hatinya belakangan ini.
Setiap hari dalam seminggu Mirna selalu berlatih untuk pesiapan menghadapi lomba baca puisi. Sehabis pulang sekolah, dua jam kemudian, dia pasti menyempatkan diri untuk mencari inspirasi. Entah ide apa yang merasuk Mirna, tiba-tiba ia mengambil bungkusan kresek hitam dan menghiasinya dengan kertas krep warna-warni. Mengisi kresek hitam itu dengan beberapa kardus, seolah beberapa bungkusan terdapat di dalam kresek itu.
Puisi pilihan yang diambil Mirna berjudul “Kasih Tak Sampai”. Mengisahkan perjuangan seorang kekasih yang ingin membawakan oleh-oleh untuk pacar yang dicintainya. Namun sayang, ketika sampai di dermaga, dia melihat sang pacar dengan kekasih barunya. Betapa menyedihkannya peristiwa yang dialami sang kekasih. Hingga akhirnya ia putus dan larut dalam kesedihan. Tema kekecewaan tersebut mengingatkan Mirna akan penolakan terhadap dirinya di ekstrakurikuler paskibra. Dia mengandaikan dirinya menjadi seorang kekasih yang telah lama ingin berjumpa dengan yang diidam-idamkannya.
Mirna membawa kantong kresek berhiaskan kertas krep warna-warni itu ke Universitas Bangsa Utama. Iwan dan Ira tidak bisa menahan tawa. Menurutnya, Mirna terlalu berlebihan. Namun tidak untuk Mirna. Ekspresi kekecewaan harus dibalas dengan karya yang spektakuler.
“Peserta No.5, Mirna Indrawati dari SMA Bhakti Utama dipersilahkan naik ke atas panggung,” demikian kata si pembawa acara.
Semua orang tertuju kepada sosok Mirna. Sebagian peserta berbisik-bisik aneh melihat kehadirannya. Mirna membawakan puisi wajib, dan dilanjutkan dengan puisi pilihan. Dia mengambil bungkusan kresek hitam itu. Mirna membawakan dengan penuh penghayatan, sampai-sampai air matanya meleleh membasahi baju seragamnya, dipegangnya erat-erat bungkusan “oleh-oleh” untuk sang pacar, ingusnya mulai jatuh, mulutnya mencibir tanda menahan rasa sakit hati, suaranya serak. Tidak peduli apakah rupa wajahnya menjadi teramat jelek dengan ekspresi demikian. Malah mungkin dikatakan seperti orang yang terkena stress. Semua hening. Semua bisu. Namun, ketika puisi telah berakhir, tepuk tangan riuh penonton mulai membanjiri saentero aula umum Universitas Bangsa Utama. Semua terkesima dengan ekspresi yang ditunjukkan Mirna. Mirna berhasil meraih juara umum. Dia mendapatkan trofi besar dan tinggi yang belum pernah dibayangkannya sama sekali, uang tunai Rp.5.000.000, piagam penghargaan, dan bungkusan yang berisi 2 buku novelnya Tere Liye.
“Gila bangettt, bangettt, bangettt,” komentar Ira terhadap temannya, Mirna. “Sepertinya kau menghayatinya, Mir ?”
Mira hanya tersenyum. Tentu saja, ini adalah wujud ekspresi kekecewaanya beberapa hari yang lalu. Namun kekecewaan itu bisa dituangkan dalam sebuah karya yang bisa dinikmati oleh orang banyak. Apalagi Universitas Bangsa Utama menyiarkan acara ini di channel youtube resmi mereka.
Hari senin telah tiba. Setelah teman-teman paskibra Mirna menunjukkan kehebatannya dalam baris-berbaris dan mengibarkan bendera ketika upacara tiba, kini giliran Mirna untuk dipanggil ke depan, ya ke tengah lapangan upacara. Mirna telah mengharumkan nama sekolah di tingkat provinsi. Mirna dipanggil untuk diberi kesempatan menyerahkan trofi kebanggaanya kepada sang kepala sekolah, Pak Darmawan. Pak Darmawan, sang kepala sekolah, dengan bangga dan menyalami tangan Mirna.
“Anak hebat..!” itulah yang diungkapkan oleh Pak Darmawan terhadap Mirna.
Riuh tepuk tangan menyambut prestasi yang diraih Mirna, tak terkecuali Bu Tetty, Bu Endang, dewan guru lainnya, Iwan, Ira, Dea, Eki, dan teman-teman paskibra Mirna. Semua mengakui kehebatan Mirna. Semua itu karena ada peristiwa kekecewaan yang menimpa diri Mirna, yang pada akhirnya membuat Mirna menjadi sukses membawa harum nama sekolahnya.
Baca juga cerita pendek lainnya:
Masih ada sisa bossku
BalasHapus