21 Januari 2022

Sukimin, Veteran Perang di Tapal Batas

Seorang pria berusia 90 tahun itu duduk rapi dengan pakaian veteran berwarna coklat muda, lengkap dengan atribut lencana yang menambah gagahnya sosok yang berperawakan sedang. Matanya telah mulai rabun dengan selaput katarak yang menghiasi indra penglihatannya. Rambutnya putih dengan helaian yang tidak subur lagi di kepalanya. Wajah yang tampak didominasi dengan keriput serta kumisnya yang memutih membuat pria yang telah dipanggil mbah buyut itu mengingatkan kita dalam sosok “orang tua” dalam sebuah produk pangan dan minuman.
Sukimin, Veteran Perang di Tapal Batas

Dia meminum teh manis hangat dari botol bekas air mineral yang telah disiapkan istrinya, pagi tadi. Sarapannya hanya sebuah bala-bala dengan pisang ambon untuk persiapan mengganjal teriakan rongga pencernaannya. Sedangkan sarapan para pejabat yang akan menghadiri upacara bendera terdiri dari risoles ayam, lemper daging sapi, ataupun nasi goreng kambing yang telah disiapkan para pembantu di rumah mereka. Anak-anak paskibra maupun anak sekolah yang mengikuti upacara bendera tingkat kabupaten lain lagi, mungkin mereka hanya meminum segelas susu, atau sebiji kue donat, maupun setangkup roti berisi keju dan daging asap, sambil ogah-ogahan menerima hasil masakan ibunya. Mereka ketakutan karena upacara bendera akan segera dimulai.

Pria veteran berusia 90 tahun itu bernama Sukimin. Ketika muda mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil anak milenial menganggap hal tersebut lebay, tentu saja pikiran mereka tidak bisa membayangkan bahaya datang mengintai dari arah manapun dengan todongan senjata, serta membunuh orang-orang terkasih mereka. Sukimin tampak menerawang, jam belum berdentang 7 kali, namun waktu terus melaju, akan tetapi sangat berbeda dengan Sukimin. Dia memundurkan waktu, dimana masa-masa muda bergelora tidak dilampiaskan untuk bermain playstation, bahkan bermain basket, atau mungkin berkencan dengan mengajak si dia ke bioskop kesayangannya. Sukimin seperti pemuda pada umumnya. Hati nuraninya tergerak menjadi seorang patriot yang bisa membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan serta mempertahankannya. Sudah puluhan purnama ia lalui menjadi tentara pelajar, dan di tapal bataslah hidup dan mati menjadi penentunya. Sukimin adalah pria remaja yang mulai mengintai gadis-gadis sebayanya. Maryam, sempat merenggut hatinya pada saat itu. Gadis manis dengan lesung pipit juga ikut menjadi patriot di garda terdepan. Mereka sama-sama berada di gerbang republik, Bekasi. Mengingat lagu Melati di Tapal Batas karya Ismail Marzuki mengidentifikaikan sosok Maryam seutuhnya.

Mereka berjanji akan mengikat diri sehidup semati jika masalah dengan kaum berkulit putih telah selesai, artinya apabila negeri ini betul-betul dapat dihirup udara sebebas-bebasnya. Menginginkan anak-anak yang sehat. Menginginkan bebas bermain di hamparan rumput hijau dan semerbak kembang di taman tanpa adanya desingan peluru dan meriam. Mereka tak ingin anak-anak menjadi tuli gara-gara dentuman bom. Hati mereka menjadi kaku gara-gara selalu diinterogasi penjajah. Atau bahkan bergelimang darah sebagai akhir dari sebuah cerita keluarga mereka. Sukimin dan Maryam ingin anak-anak yang sehat, bak anak-anak Belanda yang selalu bermain riang di taman rumah jajahan mereka. Menikmati makanan lezat dari produk hewani, serta belajar tanpa disekap oleh kaum penjajah. Ah... amat menyenangkannya jika hal itu terjadi mungkin dua atau tiga tahun mereka bisa seperti itu, pikirnya.

“Aku akan selalu mendoakanmu, Min,” Maryam berkata pelan kepada Sukimin saat pagi itu.

“Aku juga, jaga dirimu baik-baik”.

Keduanya berpisah di peleton yang berbeda. Pada tahun 1946, Sukimin, masuk dalam grup mata-mata. Tugasnya mengambil senapan dan ransum makanan milik tentara NICA. Bagi mereka, sekaleng kornet dan sekotak keju bisa dimakan puluhan pejuang dengan nasi jagung atau roti sumbu (singkong) sebagai temannya. Sukimin menyelusup ke pos panjagaan, mengambil apa yang ada. Penjajah harus dibayar dengan colongan. Tapi nasib tak beruntung, dia disergap dengan todongan senapan dan hentakan suara seperti todongan senapan yang menghentikan jantungnya. Namun, kini jantungnya berdegup kencang. Dia hanya pasrah pada nasib. Senjatanya dilucuti, pisau belatinya dirampas, untung saja uang beberapa sen tidak ikut terampas. Terlalu tidak berharga bagi NICA untuk mengambilnya. Dia diinterogerasi. Bayonet menghantam pelipisnya hingga mengakibatkan luka robek yang menganga. Dia ditendang, ditampar, bahkan dipukuli dan dinjak habis-habisan hingga punggungnya biru legam menghitam. Sepatu bots NICA telah bersantap di badannya. Dia hanya pasrah pada nasib. Dia kubur mimpi indahnya dengan Maryam. Dia tidak memikirkan hidup bahagia lagi bersamanya. Hal itu kemungkinan absurd untuk dilaksanakan. Dia ingin mati saja, tapi mati terhormat, ya bagi pemuda masa lalu mati terhormat adalah mati di medan perang, mati disiksa penjajah, bukan mati disiksa kekasih dengan PHP tingkat tinggi atau bahkan mati karena ditinggal ke pelaminan. Perlahan-lahan matanya mengatup, mulutnya tidak bisa mengecap rasa, hatinya lelah, dan seluruh badannya meminta untuk istirahat, Sukimin pingsan. Dia diseret dari penjara ke penjara, bahkan sampai ke Situ Akhsan, markas besar di Kota Bandung.

Maryam gelisah tak menentu, dari front ke front dia menelisik info mengenai pujaan hatinya. Secara fisik dia lelah, namun jiwanya masih bergelora untuk mencari tanda. Namun beberapa gelengan telah dia terima, tak tau dimana keberadaan Sukimin. Napasnya lemah lunglai ketika mendengar beberapa sahabat yang berkata, Sukimin diambil tentara NICA. Nafasnya berat, pandangannya kabur, sekabur masa depannya dengan Sukimin. Beberapa teman dekat meminta Maryam untuk memasrahkan diri kepada Tuhan, mana tau keajaiban terjadi. Namun, hari demi hari terasa nihil. Sukimin belum kembali.

Maryam menangis sejadi-jadinya ketika ada beberapa kerabat yang berjuang dalam aksi mata-mata mengabarkan bahwa kemungkinan besar Sukimin telah tidak bernyawa. Dia seolah hilang ditelan bumi. Maryam berbalik arah, pulang ke rumah dan mengurung diri. Samar-samar terdengar bisik-bisik perjodohan dari orang tuanya. Perjodohan dengan anak saudagar kaya dari seberang. Karena sang ayah tak kuat menanggung hutang lintah darat. Sawah ladang diam seolah terabaikan.

Sukimin membasuh wajahnya, darah berpeluh selalu menghiasi. Namun tak disangka jendela telah menjadi seorang pemihak. Dirombak dihantam sikutan rekan-rekan pejuang. Mereka berbondong-bondong dalam kesunyiam keluar dari penjara jahanam saat menembus malam. Pekikan merdeka sudah menggema ketika mereka sampai di markas Bandung Selatan, tak terkecuali Sukimin. Dia pulang diantar para pejuang Divisi Siliwangi yang gagah berani. Sekonyong-konyong Sukimin teringat kampung, rekan seperjuangan di gerbang republik, dan tentunya Maryam. Dia rindu dengan semua itu. Tawa berderai Maryam yang selalu dia rindukan. Pintu rumah telah terbuka, seorang ibu yang berbinar melihat anaknya pulang berjuang, namun riak wajahnya berubah ketika sang putra menanyakan tambatan hatinya. Terlambat, Maryam dipersunting orang.

Dengan nafas memburu, Sukimin sampai ke pagar wanita yang dicintainya. Janur kuning telah menandakan bahwa ia tak patut lagi mengharapkan sang gadis. Pulang dengan duka.

***

Upacara bendera pagi itu telah selesai dilaksanakan, di mulai merapihkan seragamnya ketika hendak berdiri. Kaki kanannya yang bengkok menjadi saksi sejarah perjuangannya ketika menjadi mata-mata. Kaki yang menanggung sakit akibat hasrat penjajah yang licik. Matanya tertangkap kepada sosok wanita sepuh yang menghampiri salah satu pejabat daerah. kemungkinan besar itu adalah ibunya, dan kemungkinan besar pula suaminya telah tiada. Wanita itu mencoba melihat sekeliling lapangan, satu persatu matanya dia tambatkan kepada sosok-sosok veteran perang. Dia bisa saja mengikuti upacara bendera dengan seragam veteran perangnya. Namun sang anak menolak, dan menyarankan sang ibu untuk berdiam di ruangan kantor. Sang ibu hanya menurut. Sukimin memicingkan matanya, bibirnya tak henti bergumam “itu Maryam !”

Oh tidak, ternyata dia masih hidup. Mungkin dia sedang mencari sosok pria yang pernah dia tunggu-tunggu. Namun apa daya, Sukimin telah didampingi oleh perempuan yang sangat setia, Endah. Endah yang mau menerima Sukimin yang tidak dapat berjalan baik lagi, selalu menyenangkan hari tuanya. Wanita yang telah menemaninya selama hampir setengah abad dan memberikan cucu serta cicit yang banyak. Sosok wanita yang selalu membersihkan atribut-atribut veterannya, lalu berkata “alangkah bangganya aku memiliki suami sepertimu.”

Sukimin berangkat pulang hingga ke sudut lapangan upacara, dia meninggalkan sosok Maryam yang sepuh. Sesekali dia menghirup nafas dalam-dalam, betapa berharganya hidup merdeka. Sayup-sayup terdengar nyanyian “Melati di Tapal Batas” karya Ismail Marzuki, hatinya haru sekaligus sedih.

Sumedang, 11 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar