27 April 2021

Legenda Lau Kawar - Sumatera Utara

Berikut adalah cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pada zaman dahulu, berdirilah sebuah desa yang bernama Kawar. Daerah tersebut memilki tanah yang subur. Karena memiliki tanah yang subur, sebagian besar matapencaharian penduduk tersebut adalah bertani.
Legenda Lau Kawar - Sumatera Utara


Pada suatu waktu, desa tersebut mengalami panen yang berlipat ganda. Para penduduk bersuka cita menerima hasil panen yang berlimpah. Bahkan, lumbung padi pun tidak mampu menampung hasil bumi yang sangat banyak. Mereka akhirnya mengadakan selamatan untuk mensyukuri hasil panen yang berlimpah ruah. 

Upacara adat untuk mensyukuri hasil panen yang berlimpah dilaksanakan dengan sangat meriah. Mereka mengenakan pakaian yang pantas untuk melaksanakan upacara tersebut. Kaum wanita tidak lupa memasak makanan yang cukup banyak untuk pesta syukuran, agar mereka dapat menyantap makanan enak hasil dari panen raya. Tidak lupa alunan musik gendang guro-guro juga ikut menyemarakan pesta. Mereka bersuka cita menikmati pesta yang sangat meriah.

Namun, di sebuah rumah, tinggalah seorang nenek tua yang telah lumpuh. Sang nenek tidak bisa menikmati pesta panen raya karena mengalami lumpuh total. Badannya tidak bisa digerakan sama sekali, dia hanya bisa tidur di pembaringan. Akan tetapi, anak, cucu, dan menantu sang nenek ikut berpesta. Padahal sang nenek sangat berharap untuk ikut dalam pesta panen raya itu. 

“Ya Tuhan, aku ingin sekali mengikuti pesta panen raya itu. Namun apalah dayaku, untuk membawa badanku ke sana saja tidak bisa,” gumam si nenek dengan air mata yang berderai.

Tidak ada satu orang pun yang mengajak sang nenek untuk menghadiri pesta panen raya itu. Jangankan mengajak untuk menghadiri pesta panen raya, untuk mengajak berbicara saja tidak satu pun yang mau. Padahal, sang nenek sangat kesepian. Dia butuh hiburan dan orang yang mau menemani perbincangannya dikala waktu luang.

Sayup-sayup terdengarlah gendang guro-guro yang membawanya ke masa lalu. Dimana alat musik tersebut sangat indah didengarkan dan digunakan oleh kaum muda mudi untuk berpesta. Para muda mudi berpasang-pasangan sambil menari. Sang nenek menjadi ingat ke masa lalunya. Namun kenangan tinggal kenangan, saat ini sang nenek bergelut dalam kesakitan. Dia harus melawan rasa sakit dan kesepiannya. Perasaannya saat ini sangat sedih karena dilupakan anak, menantu, dan cucunya sendiri.

Hingga akhirnya tibalah acara untuk menikmati hidangan. Mereka memasak makanan yang enak-enak. Banyak aneka lauk-pauk yang terhidang dengan nasi hangat, sayur-mayur, serta buah-buahan yang segar. Nasi hangat, daging ayam, lembu, babi dan aneka jenis ikan terhidang. Mereka menyantapnya dengan lahap. Sesekali guyonan beberapa orang di sana membuat mereka tertawa di sela-sela hembusan angin yang sejuk. Mereka telah lupa ada seorang nenek tua lumpuh yang ingin menghadiri pesta tersebut.

Sang nenek tua merasa lapar, karena tidak ada nasi yang diantarkan oleh anak menantunya. Sudah sejak pagi sang nenek tidak menyantap makanan. anak menantunya hanya sibuk mengurus pesta panen raya. Mereka seolah telah lupa dengan ibu mereka yang telah tua.

“Ya Tuhan, perutku terasa sakit melilit karena menahan lapar..., apakah anak-anaku telah lupa terhadapku, hingga tidak mengantarkan sama sekali makanan kepadaku ?”, lirih sang nenek.

Dengan badan lemas dan bergetar, sang nenek akhirnya mencoba untuk beringsut dari tempat tidurnya. Dia lalu mencoba berangkat ke dapur rumah, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan. Sang nenek dengan sekuat tenaga mencari makanan yang ada di dapur, meskipun dengan tenaga yang sangat sedikit. Namun, alangkah malangnya sang nenek. Anak menantunya tidak menyisakan makanan sedikit pun. Mereka sengaja tidak memasak makanan karena berniat akan mengikuti pesta panen raya dan menyantap makanan yang enak-enak di sana.

“Mereka tidak menyediakan makanan untukku..., alangkah teganya mereka... Mereka dengan enak memakan makanan di pesta panen raya itu, tapi melupakan orang tuanya yang telah renta hingga kelaparan.” ujar sang nenek.

Sambil menyeka air mata yang terus berlinang dan membawa kembali tubuhnya yang telah lemah, sang nenek kembali ke tempat tidurnya. Ada rasa sedih dan kecewa yang dia rasakan. Sang nenek terus mengeluarkan air mata. Dia selalu menangisi nasibnya yang malang.

Di tempat pesta panen raya, para penduduk bersuka cita dengan perut kenyang habis bersantap masakan yang lezat. Sang anak dari nenek tersebut akhirnya baru sadar dan teringat dengan ibunya yang malang. Sang anak lalu bertanya kepada istrinya, apakah dia sudah mengantarkan makanan untuk sang ibu.

“Istriku, apakah kamu telah megantarkan makanan untuk ibu ?” tanya sang suami kepada istrinya.

“Belum, suamiku,” kata sang istri.

Sang suami terkejut, lalu memerintahkan kepada istrinya untuk membawa makanan ke rumah. Makanan tersebut diperuntukkan bagi sang nenek.

“Bawalah makanan ini pulang, lalu berikan kepada nenek,” perintah sang anak kepada istrinya, sambil membungkus makanan hasil dari memasak ketika pesta panen raya.

Istrinya lalu memerintahkan anaknya untuk mengantarkan makanan tersebut.

“Tolong bawa makanan ini ke nenekmu !” perintah sang ibu kepada anaknya.

Sang cucu akhirnya segera pergi ke rumahya. Setelah sampai di rumah, sang cucu memberikan sebungkus makanan kepada neneknya. Alangkah bahagianya sang nenek, sebab anaknya masih ingat dengan ibunya.

Namun, alangkah terkejutnya sang nenek. Setelah dia membuka bungkusan itu, ternyata isinya hanyalah sisa makanan. Sisa makanan tersebut terdiri dari tulang yang telah habis dagingnya dan nasi sisa habis dimakan. Sang nenek geram dengan perbuatan anaknya.

Sebenarnya nasi sisa yang diberikan kepada nenek tersebut akibat ulah cucunya. Sang cucu memakan nasi bungkus tersebut ketika di perjalanan menuju rumah sang nenek, lalu memberikannya kepada sang nenek setelah sampai di rumah.

Itulah akibat orang tua tidak mengajarkan cara menghormati sang anak kepada neneknya. Sehingga, nasi bungkus untuk sang nenek pun dilahap habis.

Dengan rasa lapar yang mendera sang nenek serta perasaan kesal bercampur marah, air matanya pun sudah tidak dapat dibendung lagi. Sang nenek yang telah kesal dan merasa sangat lapar akhirnya mengutuk anak menantunya.

“Ya Tuhan, anak dan menantuku telah durhaka kepadaku. Berilah kutukan kepada mereka. Saya sudah tidak kuat menahan penderitaan akibat ulah mereka...,” doa sang nenek kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam sekejap, Desa Kawar didatangi gempa bumi yang sangat dahsyat. Penduduk yang pada saat itu sedang bersuka cita menikmati pesta panen raya tiba-tiba menjadi panik. Mereka tidak bisa menyelamatkan diri. Angin bertiup kencang. Langit menjadi gelap. Munculah petir yang menggelegar. Desa Lau Kawar akhirnya mengalami bencana yang sangat dahsyat. Hujan pun turun dengan derasnya.

Desa Kawar hilang ditelan bumi. Desa tersebut terkubur beserta para penduduknya. Hingga tersisa kawah besar yang digenangi air. Kawah tersebut akhirnya diberi nama Lau Kawar. Demikian cerita daerah dari Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Semoga ini bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar