Pada zaman dahulu, seorang raja Keraton Surakarta memiliki 4 orang anak. 3 orang anak adalah laki-laki, sedangkan si bungsu adalah perempuan. Keempat anak tersebut tinggal di dalam lingkungan keraton. Pada suatu ketika, mereka merasa terusik dengan wangi harum yang selalu ada setiap waktu. Tidak biasanya mereka mencium wangi harum menyengat seperti itu.
“Aku mencium wangi harum semerbak, apakah kalian merasakannya juga ?” tanya si sulung kepada adik-adiknya.
“Kami juga merasakannya, kakanda,” kata ketiga adik si sulung.
“Apakah kalian tau darimana asal wangi tersebut ?” tanya si sulung.
Si bungsu yang merupakan anak perempuan satu-satunya dari sang raja angkat bicara “Adinda tidak tau pasti sumber bau wangi tersebut berasal dari daerah mana, namun adinda yakin bahwa bau wangi itu berasal dari arah timur,” jelas si putri bungsu.
Si sulung merenung, namun akhirnya berkata “Apakah lebih baik kita mencari asal sumber bau wangi tersebut, aku menjadi sangat penasaran.”
“Benar kakanda, saya juga penasaran,” kata adiknya.
“Lebih baik kita ke arah timur dan berusaha mencari sumber bau wangi tersebut. Kita harus meminta izin kepada ayahanda paduka raja untuk mengembara mencari sumber wangi tersebut,” jelas si sulung.
Mereka akhirnya diberi izin oleh sang raja untuk melakukan perjalanan demi mencari sumber bau wangi itu. Persiapan yang matang telah mereka lakukan, seperti bekal makanan, pakaian, dan peralatan lainya yang mendukung perjalanan mereka.
Mereka pergi ke arah timur, semakin ke timur bau wangi tersebut semakin semerbak. Wangi tersebut membuat mereka tambah penasaran.
Mereka menempuh perjalanan yang sangat jauh. Berbulan lamanya mereka melalui perjalanan yang penuh rintangan. Mereka harus menyeberangi sungai, menghadapi hewan buas, menaiki perbukitan dan pegunungan, sampai menyeberangi selat yang sekarang dinamakan Selat Bali.
Setelah sampai ke pulau seberang, yaitu Pulau Bali, mereka masih melanjutkan perjalanan untuk menemukan sumber bau wangi tersebut. Semakin lama bau wangi itu semakin kuat, mereka yakin bahwa tidak akan lama lagi menemukan sumber dari bau wangi yang dimaksud.
Mereka tiba di perbatasan Desa Ciluk Karangasem, yaitu di daerah Buleleng. Setelah sampai di kaki Gunung Batur bagian selatan, sang putri bungsu terkesima dengan pemandangan setempat. Sang putri tidak bisa melanjutkan perjalanan. Hal tersebut memunculkan pertanyaan bagi putra sulung untuk bertanya kepada adiknya.
“Ada apa gerangan adinda tidak mau melanjutkan perjalanan ?” tanya kakak sulung.
“Adinda merasa tempat ini begitu nyaman dan tenang, adinda ingin tinggal di sini kakanda,” jelas adik bungsu.
Sang adik bungsu melanjutkan perkataanya, “Bolehkah adinda tinggal di sini ?”
Sang kakak tidak dapat mencegah permintaan adiknya “Kalau memang itu keinginanmu, baiklah, kau boleh tinggal di sini.”
Ketiga kakak putri bungsu akhirnya melanjutkan perjalanan mereka untuk menemukan bau wangi tersebut. Setelah sampai di daerah Kedisan, tepatnya barat daya Danau Batur, mereka mendengarkan suara burung yang sangat indah. Suara burung itu terdengar merdu oleh mereka.
Sang pangeran ketiga sangat senang mendengarkan suara burung itu, hingga berteriak kegirangan. Sikap sang adik ternyata menimbulkan ketidaksukaan bagi si sulung, yaitu pangeran pertama. Dia tidak mau mempunyai adik yang memiliki perangai yang menurutnya tidak baik. Hingga akhirnya, sang kakak meminta adiknya untuk tinggal saja di tempat itu, tanpa melanjutkan perjalanan. Ternyata sang pangeran ketiga memilih untuk tetap ikut dalam perjalanan bersama kedua kakaknya. Mereka akhirnya bertengkar. Karena terlanjur murka kepada adiknya, pangeran ketiga, si sulung lalu menendang adiknya hingga jatuh tersungkur. Pangeran ketiga berubah menjadi patung dengan wujud duduk bersila. Patung tersebut berada di Kedisan, merupakan patung Batu Bathara (Dewa) penjelmaan pangeran ketiga dari Solo. Penjelmaan pangeran ketiga dari Solo tersebut diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero. Patung tersebut bersemayam (melinggih) di bangunan suci yang disebut Meru Tumpang Pitu, Desa Kedisan.
Kedua pangeran yang merupakan pangeran pertama dan kedua itu melanjutkan perjalanan. Di dalam perjalanan menyusuri tepian Danau Batur sebelah timur, mereka bertemu dengan gadis-gadis cantik. Sang pangeran kedua tertarik untuk menyapa kedua gadis itu. Akan tetapi, pangeran pertama tidak menyukai tindakan adiknya. Hingga akhirnya, timbulah percekcokan antara mereka. Pangeran pertama alias si sulung menyuruh sang adik untuk tidak melanjutkan perjalanan. Si sulung meminta sang adik untuk tetap tinggal saja di daerah tersebut. Akan tetapi, sang adik tidak menginginkan kehendak kakaknya. Dia ingin terus melanjutkan perjalanan bersama kakak sulungnya. Percekcokan pun terjadi, hingga menimbulkan kemarahan yang sangat luar biasa bagi pangeran pertama. Sang kakak sulung akhirnya menendang si pangeran kedua hingga jatuh tersungkur. Pangeran kedua akhirnya menjadi kepala desa di tempat tersebut. Desa tersebut diberi nama Abang Dukuh, diberi nama Abang karena desa tersebut awalnya bagian dari Desa Abang, sedangkan Dukuh memiliki arti telungkup.
Perjalanan yang dilanjutkan oleh pangeran pertama. Dia menempuh tepian Danau Batur yang cukup curam. Ketika sampai di suatu tempat, bertemu dengan seorang dewi yang sangat cantik jelita. Seorang dewi tersebut duduk di bawah pohon taru menyan. Kecantikan sang dewi membuat pangeran pertama jatuh cinta dan berniat ingin melamarnya. Semakin mendekati sang dewi, bau wangi itu semakin menyengat.
Sang pangeran akhirnya meminta kesediaan sang dewi itu menerima lamarannya. Sang dewi meminta persetujuan lamaran pangeran pertama kepada kakaknya. Lamaran tersebut diterima, dengan sayarat agar pangeran pertama mau menjadi pemimpin desa atau pancer jagat (pasak dunia).
Pesta pernikahan antara sang dewi dengan pangeran pertama dilaksanakan dengan sangat meriah. Setelah menikah, sang pangeran pertama langsung diangkat menjadi pemimpin desa atau yang disebut pancer jagat. Desa tersebut diberi nama Trunyan, yang diambil dari nama taru dan menyan. Taru berarti pohon, sedangkan menyan artinya wangi/harum. Sang pengeran pertama diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat yang akhirnya dipercaya sebagai dewa tertinggi masyarakat Trunyan. Sedangkan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar dan dipercaya sebagai penguasa Danau Batur, hingga disebut sebagai Dewi Danau Batur.
Sang pangeran pertama yang bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat itu memimpin daerahnya secara arif dan bijaksana. Tidak lama kemudian, desa tersebut berubah menjadi kerajaan kecil yang masih menimbulkan kepenasaran bagi orang-orang luar sana. Kepenasaran tersebut muncul dari bau wangi yang berasal dari pohon menyan atau taru menyan di desa tersebut. Ratu Sakti Pancering Jagat akhirnya memutuskan kepada rakyatnya bahwa apabila ada yang meninggal dunia, hendaklah jenazahnya diletakan di atas tanah dan di bawah pohon menyan. Jenazah tersebut dibiarkan tetap membusuk di atas tanah. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat menetralisir bau wangi semerbak dari pohon menyan. Sehingga desa tersebut tidak lagi menimbulkan kepenasaran bagi orang luar untuk mendatanginya atau bahkan melakukan serangan, hanya karena wangi semerbak dari pohon menyan. Semenjak itulah, masyarakat Desa Trunyan selalu menyimpan jenazah orang yang sudah meninggal di bawah pohon menyan.
Demikianlah cerita rakyat dari Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali yang berjudul Legenda Desa Trunyan, Kedisan, dan Abang Dukuh. Mengisahkan tentang pengembaraan putra-putri raja Keraton Surakarta yang penasaran dengan wangi harum yang muncul dari arah timur. Mereka akhirnya menemukan sumber bau wangi tersebut. Ternyata bau wangi tersebut berasal dari daerah Bali. Benar apa tidaknya cerita tersebut, hanya Tuhan yang tau. Ini hanyalah sebuah cerita legenda yang wajib kita ketahui sebagai memperkaya pengetahuan kita tentang cerita rakyat Bali.
Semoga cerita ini dapat memperkaya pengetahuan akan cerita daerah Indonesia. Terimakasih telah berkunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar